Rabu, 17 Desember 2014

Adat

Adat dan Agama

Adat Hendaknya Mendukung Pelaksanaan Agama

 

Adat dan agama, pada beberapa tempat di tanah air, selalu bergandengan dan berjalan bersama. Misalnya dalam melaksanakan suatu upacara agama, terutama di Bali, intervensi adat dalam pelaksanaan agama sering sekali terjadi. Orang awam sangat sulit membedakan antara suatu pelaksanaan upacara adat dan agama. Agama dan adat sering dianggap satu. Bila seseorang melaksanakan suatu upacara agama di rumahnya, dengan mudah ia memberitahukan temannya bahwa ia akan melaksanakan upacara adat.

Di satu sisi, adat memperkaya khasanah pelaksanaan agama. Dengan adanya adat istiadat yang kuat pada suatu masyarakat, adat akan menunjang suksesnya pelaksanaan suatu upacara agama. Dengan dukungan adat, suatu upacara agama dapat dilaksanakan dengan lancar dan baik. Masyarakat adat secara sukarela dan taat mendukung pelaksanaan upacara agama.

Namun,  ada kalanya pengaruh adat yang kaku membuat kegiatan agama tidak berjalan sesuai aturan agama. Tidak dilaksanakan sepenuhnya sebagaimana diamanatkan oleh ajaran agama. Sesuatu kegiatan yang tidak diatur dalam agama terkadang dilaksanakan sesuai dengan adat istiadat setempat.


Adat  adalah kegiatan dan kebiasaan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam suatu masyarakat, telah berlangsung lama, dirasakan sebagai suatu kebutuhan, dan dipertahankan sebagai suatu sumber nilai, sopan santun, etika, moral dan bahkan sumber hukum. Mereka yang bertindak tidak sesuai dengan adat, akan mendapatkan celaan bahkan sanksi dari masyarakat. Dengan berjalannya waktu, adat berkembang menjadi hukum yang dikenal dengan hukum adat. Pada mulanya hukum adat ini tidak tertulis, kemudian karena adanya kebutuhan akan adanya kepastian hukum, hukum adat kemudian dikodifikasi. Di bali dikenal dengan nama  awig-awig.


Menurut Wikipedia, Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Adat dan agama sesungguhnya adalah dua hal yang berbeda, namun mempunyai persamaan, yaitu sama-sama mengatur kehidupan dalam suatu masyarakat untuk mencapai keamanan dan ketertiban. Perbedaannya adalah, pertama dari sisi sumbernya, Agama bersumber dari kitab suci setiap agama yang menurunkan hukum agama, sedangkan adat bersumber dari kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat yang kemudian melahirkan hukum adat. Kedua, agama lebih menekankan pada pengaturan spiritual manusia sedangkan adat lebih pada pengaturan lahiriahnya. Agama lebih banyak mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sedangkan adat lebih kepada pengaturan hubungan antar manusia dan manusia dengan lingkungannya. Ketiga, agama berlaku secara universal tidak memandang batas wilayah, sedangkan adat berlaku pada lingkungan masyarakat adat itu sendiri.


Agama dan adat, disamping unsur-unsur lainnya seperti bahasa, kesenian, teknologi, dan lain-lain, mengisi rongga kebudayaan. Adat istiadat dan agama merupakan cerminan kebudayaan suatu masyarakat. Di Bali, kombinasi pelaksanaan adat dan agama pada umumnya sudah berjalan baik. Dalam mengantisipasi gelombang perubahan jaman yang terus menerus melanda, pelaksanaan adat perlu diselaraskan dengan bijaksana, tidak kaku, sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan pelaksanaan upacara keagamaan, bukan sebaliknya. Pelaksanaan adat yang terlalu kaku, dengan alasan untuk mempertahankan agama, sering membuat kita salah arah, melenceng dari nilai-nilai agama, dan ketinggalan di belakang.

Banyak oknum dengan mengatasnamakan desa adat melaksanakan pungutan-pungutan  yang tidak semestinya, seperti ketika wisatawan memasuki obyek-obyek wisata tertentu. Dengan alasan untuk piodalan desa adat mengadakan pugutan-pungutan yang tidak wajar kepada para pedagang. Bahkan ada kasus dengan alasan mempertahankan adat, pelaksanaan kegiatan agama menjadi terganggu seperti larangan penguburan atau pelaksanaan  pengabenan di setra dengan alasan yang bersangkutan tidak pernah ngayah padahal ketika hidupnya yang bersangkutan melaksanakan tugas sebagai aparat pemerintah di luar bali.. Hal-hal seperti ini tentunya sangat mengecewakan. Untuk mengembalikan wibawa adat, dari tingkat yang paling kecil, peran aktif pemuka masyarakat, pinandita, pandita, lembaga adat, dan parisada sangat diharapkan.



Baca Juga

Pura yang perlu dikunjungi untuk sembahyang atau sekedar menenangkan pikiran dikala sumpek: